Minggu, 12 Juni 2011

sistem politik melalui pendekatan agama

SISTEM POLITIK MELALUI PENDEKATAN AGAMA
Pemikiran Cak Nur mulai menjadi isu nasional ketika ia menegaskan pentingnyasekularisasi politik sebagai paham kebangsaan. Sekularisasi berarti ada pemisahanantara wilayah agama dan wilayah politik. Dalam bahasa Cak Nur, dalam kaitan denganpolitik Islam: "Islam, Yes, Partai Islam, No!" Slogan ini sebenamya dalam tanda tanya,tetapi pemikiran Cak Nur sendiri mengafirmasikan pentingnya sekularisasi politik.Menurut Cak Nur, sekularisasi politik adalah solusi untuk mengembangkan paham kebangsaan di tengah pergulatan ideologis keagamaan dan politik.
Lontaran pemikiran Cak Nur era awal 1970-an ini memberikan pada kita renunganyang sangat penting tentang hubungan agama dan negara, yang sekarang munculkembali di era otonomi daerah melalui munculnya banyak peraturan daerah yangbersifat keagamaan. Campur- aduk kepentingan agama dan negara, menjadikan agama ikutcampur dalam urusan negara, dan sebaliknya negara juga ikut Campur dalam urusanagama. "Perselingkuhan" ini-begitu istilah yang sekarang sering dipakai-mengakibatkandampak pada ruang kebebasan beragama yang semakin sempit, dan terasa sesak diIndonesia, seperti terlihat dalam banyak kasus pelanggaran kebebasan beragamabelakangan ini. Tahun 2005-2006 boleh dikatakan sebagai tahun paling mundur dalamperlindungan kebebasan beragama di Indonesia. Keadaan ini menyuburkan apa yang CakNur sangat khawatir sejak lama, yaitu menguatnya fenomena radikalisme dalamIslam di Indonesia, yang akan merusak wajah Islam moderat dalam kehidupanmasyarakat.
Cak Nur dengan pikiran yang jernih menjelaskan hubungan tak langsung antara agamadan negara, yaitu pada level etika politik. Agama memberikan dukungan keabsahan nilai-nilai politik yang membawa kepada kemasalahatan bersama. Tiga nilai etika politik yangsangat kompatibel dengan agama yang selalu Cak Nur elaborasi adalah: keadilan,keterbukaan, dan demokrasi. Karena sifat negara seharusnya netral-agama, makabahasa-bahasa etika politik itu bersifat umum. Di sini, Cak Nur menegaskan Pancasilasebagai common platform dari semua suku, ras, golongan, dan khususnya agama-agamayang ada di Indonesia. Mengelaborasi filosofi tentang Pancasila ini termasuk hal yangmenjadi concern Cak Nur bertahuntahun. Walaupun seringkali dalam mengelaborasiPancasila ini, Cak Nur mengaitkan dengan al-Qur'an, misalnya, tetapi pikiran- pikirannyabisa diamini oleh siapapun, tidak tergantung pada agamanya apa. Inilah sisi universalpemikiran Cak Nur. la memang seorang ahli Islam, tetapi begitu universal dan kosmopolitkeislamannya itu, pikiran-pikirannya mempunyai pengaruh pada semua kalangan. Jenispemikiran Islam yang dalam istilah Cak Nur al-hanaft jah alsamhah-kecenderunganberagama yang terbuka dan penuh kelapangan-inilah yang terus ditegaskan sebelumbeliau sakit. Ini pula kesan kita kalau membaca bukunya Indonesia Kita, yangmerupakan manifesto Cak Nur untuk reformasi.
Maka sebenamya pikiran kebangsaan Cak Nur, yang pernah menjadi kontroversi besardi kalangan umat Islam pada era 1970-an, merupakan suatu filosofi yang dipikirkan CakNur untuk membangun fondasi keindonesiaan, seperti Pancasila-termasuk didalamnya menempatkan peranan agama dalam politik. Cak Nur selalu menegaskan bahwaperanan agama dalarn politik ada pada level moralitas, bukan politik. Khusus soal moralitasinilah Cak Nur sangat prihatin pada keadaan masyarakat Indonesia, dan lebih khusus padaumat Islam yang menupakan mayoritas bangsa Indonesia. Ada hukum yang Cak Nurkemukakan-dalam bahasa Latin coruptio optimi pessima" ("kejahatan oleh orangterbaik adalah kejahatan yang terburuk," "corruption by the best is the worst"), makapelanggaran prinsip keadilan dan keseimbangan-yang merupakan salah satu pikiranetika politik yang selalu ditekankan Cak Nuroleh kaum Muslim akan mendatangkanmalapetaka berlipat ganda. Hukum yang sama sebenarnya berlaku atas para penganut setiap agama, sebab setiap agama juga mengajarkan prinsip keadilan dan keseimbanganyang sama.
Mungkin, karena Islam merupakan ajaran yang sakral dari Tuhan, Allah SWT, maka ketika dia dipertemukan dengan wacana dan kenyataan hidup per-’politik’-an, sering dianggap berbenturan. Perbenturan ini, sering dianggap untuk menjaga kesucian Islam itu sendiri. Sementara, di sisi lain ‘politik’ dianggap berwacana duniawi yang penuh intrik ‘kekotoran’, sehingga kalau dipertemukan dengan Islam, akan dapat menghilangkan kesakralan Islam itu sendiri.
Islam diturunkan Tuhan, Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW, ‘memang’ untuk
diterapkan di dalam kehidupan duniawi. Tuntunan Islam yang sangat utama, adalah menuntun
umat manusia (baik dia Muslim maupun non Muslim) dalam mengajarkan, mengarahkan kebenaran tentang eksistensi Tuhan itu sendiri, selain tuntunan nyata kehidupan dibidang sosial, politik budaya dan sebagainya.
Artinya, Islam juga menuntun umat manusia khususnya Muslim dalam mengarungi kehidupan dunia, termasuk kehidupan ‘politik’. Umat Islam, silahkan berpolitik, tetapi tetap saja ‘rambu-rambu’ dan prinsip ajaran Islam tidak boleh dilanggar. Seperti, seseorang Muslim guna mencapai kedudukan jabatan, presiden, menteri, gubernur dan lainnya, harus dilakukannya dengan niat dan motivasi prinsip yang jelas seperti ‘ketulusan’ dan keikhlasan, semata karena Allah SWT dengan tujuan memakmurkan umat manusia dan syiar Islam itu sendiri. Karena itu, dalam pencapaian tujuan ini, si tokoh Nuslim, misalnya dilarang menggunakan trik-trik kotor seperti menyuap para pemilih agar mereka memilih dirinya dalam pemilihan jabatan agar jabatan tersebut dimenangkannya. Kalau hal ini dilakukan, maka apakah Islam mengajarkan kekotoran dalam berpolitik?.
Kalau seseorang ini menggunakan cara terlarang, maka yang salah bukan Islamnya, tetapi orang yang mengaku Muslim inilah yang salah karena dia telah menodai Islam dan umat Islam yang lain. Oleh karena itu, seseorang atau kelompok boleh berijtihad, apakah dia mau menggunakan ‘merek’ Islam atau tidak?. Ya Tuhan pun tidak melarang dan tidak menganjurkan, tetapi harus pandai menjaga ‘kemurnian’ Islam itu sendiri. Islam jangan dilecehkan dan dikerdilkan
dalam kehidupan politik, sehingga seolah-olah kedudukan politik itu lebih tinggi dari ajaran Islam.
Betapa trenyuh hati ini kalau seandainya kita sengaja membutakan mata hati, pikiran dan jiwa kita
hanya karena memperturutkan dan mengagungkan akal semata. Tidakkah kita mencoba
menelusuri perjuangan dakwah Rosulullah dalam menegakkan sendi-sendi pemerintahan islam.
Rosulullah tidak pernah sedikitpun meninggalkan aktifitas politik, walaupun hanya dalm hitungan
detik dan desahan nafas. Karena poltik adalah riayatus syuunil ummah(mengurusi urusan umat).
Politik dalam pandangan barat (sekularisme) sangat berlawanan dengan pandangan islam. Islam
adalah agama yang mampu memecahkan segala problematika kehidupan, bukan hanya sebatas
ritual belaka. Islam mengurusi segala aspek kehidupan. Politik bukan ajang perebutan kekuasaan
versi barat, tapi politik adalah sebuah aktivitas yang sangat berat, yang nantinya akan dimintai
pertanggungjawaban. Politik dalam islam adalah pengurusan urusan umat dengan menerapkan
syariat islam, bukan hukum manusia.
HINGGA kini, agama diakui memiliki "fungsi ganda (double function)", yakni dalam kaitan dengan legitimasi kekuasaan dan privilese dan dengan penolakan serta oposisi. Dalam fungsi pertama, agama muncul sebagai apologi dan legitimasi status quo dan budaya ketidakadilan; sedang dalam fungsi kedua, ia menjadi alat protes, perubahan, dan pembebasan.
Bersamaan dengan munculnya teori-teori sekularisasi dan modernisasi yang memprediksikan runtuhnya signifikansi agama dalam kehidupan publik kontemporer, perlu dikedepankan pertanyaan mendasar: apakah kebijakan publik memerlukan agama? Agar dapat melihat secara tepat peran agama dalam kehidupan publik dan pembuatan kebijakan, kita perlu merumuskan pertanyaan secara benar. Sebab, seperti kata para ahli, separuh jawaban bergantung pada formulasi pertanyaan yang benar.
Pertanyaan itu bukan retorika belaka; ia dimaksudkan untuk memprovokasi diskusi kritis menyangkut batas hubungan yang sesungguhnya antara kebijakan publik dan agama. Kendati bukan hal baru, namun pertanyaan itu masih tetap anigmatik.
Oleh karena itu, bisa dimengerti mengapa pertanyaan itu memunculkan pertanyaan- pertanyaan terkait lain. Bagaimana seharusnya kebijakan publik dicapai dalam alam demokrasi? Bagaimana seharusnya hubungan agama dengan politik dalam masyarakat modern yang mengalami sekularisasi? Apakah agama dan politik harus sama sekali putus hubungan dan agama harus diprivatisasi? Atau, agama harus sedemikian penting sehingga mendominasi kebijakan publik?
Para sosiolog memang tidak memandang dengan sebelah mata berbagai peran yang dapat dimainkan agama dalam proses-proses politik di tengah masyarakat. Peter Berger, misalnya yang mencoba menyintesiskan pandangan-pandangan Marx, Weber, dan Durkhiem, menggambarkan agama sebagai kekuatan world maintaning dan world shaking (1967). Dengan dua kekuatan itu, agama mampu melegitimasi atau menentang kekuasaan dan privilese.
Meski demikian, para sosiolog menekankan berkurangnya signifikansi agama dalam
kehidupan publik seiring proses sekularisasi dan privatisasi. Menurut Berger, sekularisasi mengantarkan pada demonopolisasi tradisi-tradisi keagamaan dan meningkatkan peran orang- orang awam. Berbagai pandangan keagamaan berbaur dan bersaing dengan pandangan dunia non-agama, sehingga organisasi-organisasi keagamaan harus mengalami rasionalisasi dan de- birokratisasi.
Hal yang sama dikemukakan Talcott Parsons, sosiolog terkemuka dari pendekatan fungsional. Menurut Parsons, dalam masyarakat multi-religius proses-proses politik yang berlangsung akan menjadi semacam diferensiasi yang menyediakan agama pada tempat yang lebih sempit tetapi jelas dalam sistem sosial dan kultural. Karena keanggotaan dalam suatu organisasi kemasyarakatan bersifat sukarela, maka konten dan praktik keagamaan dengan sendirinya mengalami privatisasi dan menyebabkan perkembangan civil religion (Parsons, 1967 and 1995).
Situasi seperti itu mendorong lahirnya model keberagamaan yang terbuka, menjamin kebebasan agama dan meminimalisir intervensi negara. Inilah yang kini dinikmati negara-negara maju dengan tingkat demokrasi yang stabil. Mereka tidak lagi diganggu konflik yang dipicu sentimen apa pun, termasuk sentimen keagamaan. Agama-agama telah menempati ruangnya yang pas, sehingga tidak menimbulkan gesekan dan benturan dengan pandangan-pandangan profan.
Barangkali suatu truisme dalam perbandingan sosiologi sejarah, bahwa agama dalam pasca-pencerahan Barat ditandai meluasnya privatisasi. Yakni, kecenderungan yang kian meningkat untuk melihat agama sebagai masalah etika personal privat, dan bukan tatanan politik publik (Wilson, 1966; Martin, 1978).
Tendensi seperti itu tentu tidak dapat dikatakan khas Eropa modern dan Kristen Barat. Sebab, manakala muncul upaya-upaya menggiring agama ke ruang publik di banyak negara Dunia Ketiga, utamanya negara-negara Islam, yang terjadi adalah politisasi agama atau menjadikan agama sebagai alat untuk kepentingan non-agama.
Akibatnya, terjadi benturan agama dengan paham dan ideologi profan, sehingga agama bukan hanya menjadi variabel pembeda, tetapi secara signifikan juga menyumbang munculnya kekerasan dan ketegangan sosial. Dalam situasi seperti itu, tak terelakkan terjadinya "publikisasi hal-hal privat" dan "privatisasi masalah-masalah publik". Keduanya mengikis garis yang memisahkan agama dari politik.
Konsekuensinya, seperti dikemukakan Richard Falk, "politics is being reinfused with religious symbols and claims, whereas religion is being summoned to the trenches of popular struggles, including even recourse to violent tactics" (Falk, 1988: 392).
Peran profetik agama
Sejak detik-detik awal kemerdekaan dan mengalami intensitas pada masa transisi saat ini, para pemimpin dan organisasi keagamaan di Indonesia terlibat aktif berbagai perbincangan diskursif untuk mendefinisikan hubungan progresif antara agama dan negara demokrasi. Sedikitnya, telah ditemukan beberapa tipologi model konstitusional yang dapat dipertimbangkan sebagai suatu pilihan.
Pertama, teokrasi, yaitu suatu negara di mana kebijakan publik sepenuhnya ditentukan oleh
denominasi agama tertentu.
Kedua, negara sebagian agama, sebagian sekuler. Model ini menyediakan power sharing antara negara dan denominasi agama tertentu, tetapi kebijakan publik tetap didominasi tafsir-tafsir keagamaan dan pandangan moral agama tertentu.
Ketiga, negara sekuler dengan interaksi antara negara dan organisasi-organisasi keagamaan di mana agama tetap didorong memainkan peran penting dalam mempengaruhi kebijakan publik.
Keempat, negara sekuler, di mana organisasi-organisasi keagamaan ditolerir sepanjang berada dalam ruang privat, tetapi tidak ada aktivitas bersama negara. Dengan kata lain, pandangan keagamaan tidak mendapat perhatian dalam perumusan kebijakan publik.
Kelima, negara sekuler dan ateistik di mana agama ditindas dan diberangus.
Tampaknya opsi ketiga lebih mendekati cetak-biru the founding fathers negeri kita untuk apa yang disebut "bina bangsa" dan "bina negara". Di Indonesia, seluruh organisasi keagamaan bukan saja memiliki pengakuan konstitusional ruang otonominya, tetapi juga dapat berkolaborasi dengan negara dalam tugas-tugas yang menjadi perhatian bersama.
Tentu saja opsi ketiga itu bukan tanpa risiko. Bahaya paling krusial yang bisa muncul dari opsi ketiga adalah legitimasi keagamaan. Biasanya legitimasi keagamaan muncul manakala agama diberi ruang sedemikian luas hingga mengurusi hal-hal di luar dirinya. Dan, yang paling dekat dari dirinya adalah kekuasaan. Di sini agama bisa tampil untuk menjustifikasi atau mendelegitimasi kekuasaan dengan teks-teks keagamaan.
Hal itu sangat berbahaya karena bukan hanya memperkosa teks keagamaan untuk kepentingan politik sesaat, tetapi juga mengingkari semangat profetik agama-agama. Orang atau kelompok bisa melakukan apa saja atas nama agama, dan karena agama, orang atau kelompok, atau bahkan negara, saling menghancurkan.
Oleh karena itu, opsi ketiga meniscayakan adanya gerakan lintas-agama (inter-religious movement) yang mengemban misi keadilan dan persamaan antarsesama manusia, makhluk Sang Maha Pencipta. Para pemimpin agama berkewajiban menjaga peran historis mereka sebagai kesadaran moral masyarakat dan mengangkat suara protes terhadap pelanggaran martabat manusia.
Hal itu hanya dapat dicapai bila organisasi-organisasi keagamaan menjaga integritas moral dan spiritualnya bukan dengan mengalah kepada tekanan dan godaan partai politik tertentu, tetapi bersikap positif netral vis-a-vis semua partai politik.
Agama memang perlu mengambil jarak dari politik agar dapat memberikan sinar pencerahan profetiknya. Sungguh kita perlu menyepakati, tidak ada gerakan keagamaan yang akan diterima sebagai suatu gerakan politik. Sebab, jika tidak, para politisi akan berlindung di balik agama dan memangsa kehidupan masyarakat, sebagaimana telah mereka lakukan. Sejak dahulu, para manipulator telah menggunakan agama untuk memperbudak manusia.
POLITIK DALAM ISLAM
Di dalam Islam, kekuasaan politik kait mengait dengan al-hukm. Perkataan al-hukm dan kata-katayang terbentuk dari kata tersebut dipergunakan 210 kali dalam Al-Qur'an. Dalam bahasa Indonesia,perkataan al-hukm yang telah dialih-bahasakan menjadi hukum intinya adalah peraturan, undang-undang,patokan atau kaidah, dan keputusan atau vonis (pengadilan).Wujud kekuasaan politik menurut agama dan ajaran Islam adalah sebuah sistem politik yangdiselenggarakan berdasarkan dan menurut hukum Allah yang terkandung dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an tidak menyebutkan dengan tegas bagaimana mewujudkan suatu sistem politik. Di dalambeberapa ayat, Al-Qur'an hanya menyebut bahwa kekuasaan politik hanya dijanjikan (akan diberikan)kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Ini berarti bahwa sistem politik menurut agamadan ajaran Islam terkait dengan kedua faktor tersebut. Di sisi lain keberadaan sebuah sistem politikberkaitan pula dengan ruang dan waktu. Ini berarti bahwa sistem politik adalah budaya manusia sehingga keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari dimensi kesejarahan. Karena itu pula lahirnya sistem politikIslami harus dihubungkan dengan sebuah peristiwa bersejarah. Yang dimaksud adalah perjanjian ataubai'at keislaman yang menimbulkan satu perikatan berisi pengakuan dan penaklukan diri kepada Islamsebagai agama. Konsekuensi perjanjian tersebut adalah terwujudnya sebuah masyarakat muslim yangdikendalikan oleh kekuasaan yang dipegang oleh Rasul. Dengan demikian, terbentuklah sebuah sistempolitik Islami yang pertama dengan fungsi dan struktur yang sederhana dalam masyarakat dan negarakota Medinah. Sistem politik ini terjadi setelah disetujuinya piagam Madinah, yang oleh Hamidullahdisebut sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah, pada awal dekade ketiga abad VIIM (622)atau tahun I H. Dengan piagam itu tegaklah sistem politik Islam dalam sebuah negara. Sementara ituperlu dikemukakan walaupun di atas disebutkan sistem politik Islami berawal dari perikatan, namun,itu tidaklah berarti bahwa teori perjanjian masyarakat yang dikenal dalam kepustakaan ilmu politiksama dengan perjanjian keislaman tersebut di atas. Perjanjian keislaman itu merupakan konsep baru,disamping konsep-konsep yang telah dikenal. Lagi pula sifatnya adalah restrukturisasi atau penataankambali suatu masyarakat menurut hukum Ilahi
Apa yang telah dikemukakan di atas mengandung makna kemungkinan adanya sistem politikIslami dalam sebuah negara dan dalam masyarakat non-negara. Yang terakhir ini terlihat dalam sejarahIslam sebelum hijrah. Oleh karena itu, kendatipun wujud ideal (yang dicita-citakan ) sebuah sistempolitik Islami adalah sebuah negara, tetapi pembicaraan tentang sistem politik Islami dapat terlepas darikonteks (bagian uraian, yang ada hubungannya dengan) kenegaraan yakni konteks kemasyarakatan yangdapat dipandang sebagai sub sistem politik.Dalam sub sistem politik ini, hukum-hukum Allah dapat ditegakkan meskipun dalam ruang lingkupyang terbatas sesuai
dengan kemampuan, sebagai persiapan pembentukan masyarakat mukmin yangsiap menjalankan hukum Islam dan ajaran agama. Oleh karena kesiapan masyarakat itu dikaitkan denganiman dan amal saleh, maka diantara langkah-langkah mendasar yang harus dilakukan adalah pembaharuandan peningkatan iman dan penggalakkan beramal saleh. Untuk itu diperlukan kajian terhadap Al-Qur'andan Al-Hadist, pemasyarakatan dan pembudayaan hasil-hasil kajian itu (Abd, Muin Salim, 1994:295,296).Sebelum mengakhiri pembicaraan mengenai politik ini, perlu dikemukakan bahwa konsep sistempolitik Islam adalah konsep politik yang bersifat majemuk. Sebabnya, karena sistem politik Islam lahirdari pemahaman atau penafsiran seseorang terhadap Al-Qur'an berdasarkan kondisi kesejarahan dankonteks persoalan masyarakat para pemikir politik. Namun demikian, adalah naif (tidak masuk akal)kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa Islam yang telah membuat sejarah selama lima belas abadtidak mempunyai sistem politik hasil pemikiran para ahlinya. Di dalam kepustakaan dapat dijumpaipemikiran politik yang dikembangkan oleh golongan Khawarij, Syi'ah, Muktazilah. Di kalangan Sunniterdapat juga pemikiran politik baik di zaman klasik maupun di abad pertengahan tentang prosesterbentuknya negara, unsur-unsur dan sendi-sendi negara, eksistensi lembaga pemerintahan, pengangkatankepala negara, syarat- syarat (menjadi) kepala negara, tujuan dan tugas pemerintahan, pemberhentiankepala negara, sumber kekuasaan, bentuk pemerintahan.
Islam mengingatkan kepada pemeluknya untuk tidak tunduk kepada kekuasaan asing. Inilah sebabnya, mengapa kaum imperialis merusaha mengacaukan pikiran rakyat dengan menarik garis pemisah antara antara agama dan pemerintahan dan politik.
KONTRIBUSI AGAMA ISLAM DALAM KEHIDUPAN POLITIK BERBANGSA DAN
BERNEGARA
[1]. Politik ialah : Kemahiran [2]. Menghimpun kekuatan [3]. Meningkatkan kwantitas dan
kwalitas kekuatan [4]. Mengawasi kjkuatan dan [5]. Menggunakan kekuatan, untuk mencapai
tujuan kekuasaan tertentu didalam negara atau institut. lainnya
Seminar PembangunanHukumNasionalkeVIII / 2003•
Menjadikan ajaran agama sebagai sumber motivasi, sumber inspirasi, dan sumber evaluasi yang kreatif dalam membangun insan hukum yang berakhlak mulia, •Sehingga wajib dikembangkan upaya-upaya konkret dalam muatan kebijakan pembangunan hukum nasional yang dapat :-memperkuat landasan budaya keagamaan-memfasilitas iperkembangan keberagamaan – mencegah konflik sosial antar umat beragama.
POLITIK DALAM BUDHA
Usaha untuk mencampuradukkan agama dengan politik pun sering terjadi. Padahal, kalau dilihat agama berdasarkan pada moralitas, kemurnian, dan keyakinan, sedangkan dasar politik adalah kekuatan. Dilihat dari sejarah masa lalu, agama telah sering digunakan untuk memberi hak bagi orang-orang yang berkuasa. Agama digunakan untuk membenarkan perang dan penaklukan, penganiayaan, kekejaman, pemberontakan, penghancuran karya~karya seni dan kebudayaan.
Ketika agama.digunakan sebagai perantara tindakan-tindakan politik, agama tidak lagi dapat memberikan keteladanan moral yang tinggi dan derajatnya direndahkan oleh kebutuhan- kebutuhan politik duniawi. Tujuan Buddha Dhamma tidak diarahkan pada penciptaan lembaga- lembaga politik baru dan menyusun rencana-rencana politik. Pada dasarnya, agama mencari pendekatan masalah-masalah kemasyarakatan dengan memperbaiki individu-individu dalam masyarakat tersebut dan menganjurkan beberapa prinsip umum untuk dituntun ke arah nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Memperbaiki kesejahteraan anggota-anggotanya dan lebih adil dalam membagi sumber daya-sumber daya.
Sistem politik dapat menjaga kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat, tapi ada batasannya, Bagaimanapun idealnya suatu sistem politik, tidak dapat menimbulkan kedamaian dan kebahagiaan selama orang-orang dalam sistem tersebut dikuasai keserakahan, kebencian, dan kebodohan.
Meskipun suatu sistem politik yang baik dan adil menjamin hak asasi manusia dan mengawasi keseimbangan, penggunaan kekuatan adalah suatu kondisi penting bagi suatu kehidupan bahagia dalam masyarakat. Masyarakat seharusnya tidak membuang-buang waktunya dengan pencarian tanpa akhir bagi sistem politik muktahir di mana manusia dapat bebas sepenuhnya. Karena kebebasan penuh tidak dapat ditemukan dalam sistem apapun melainkan hanya dalam batin yang bebas. Untuk menjadi bebas, orang-orang harus mencari ke dalam pikiran mereka sendiri dan bekerja ke arah pembebasan diri mereka sendiri dari belenggu kebodohan dan
keinginan.
Pendekatan agama Buddha terhadap politik adalah moralisasi dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran kehidupan dan mengumumkan bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang 'adil'. Beliau mengajarkan, "Yang menang melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam kesedihan. Barang siapa yang melepaskan keduanya baik kemenangan dan kekalahan akan berbahagia dan damai". Sang Buddha tidak hanya mengajarkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian, Beliau mungkin guru agama pertama dan satu-satunya yang pergi ke medan perang secara pribadi untuk mencegah pecahnya suatu perang. Beliau menguraikan ketegangan antara suku Sakya dan suku Koliya yang siap berperang atas air Sungai Rahini. Beliau juga meminta Raja Ajatasattu supaya jangan menyerang Kerajaan Vajji.
Betapapun, ini tidak berarti bahwa agama Buddha tidak dapat atau harus tidak terlibat dalam proses politik, yang merupakan suatu realitas sosial. Bagaimanapun kehidupan anggota masyarakat dibentuk oleh hukum-hukum dan peraturan-peraturan, aturan-aturan ekonomi, lembaga-lembaga, yang dipengaruhi oleh penataan politik dari masyarakat tersebut. Namun, jika seorang umat Buddha berharap untuk terlibat dalam politik, dia harus tidak menyalahgunakan agama untuk memperoleh kekuatan politik. Juga tidak dianjurkan bagi mereka yang telah melepaskan kehidupan duniawi untuk menjalani suatu kehidupan agama yang murni untuk secara aktif terlibat dalam politik.
Ayatullah Khomeini berpegang pada konsep Kedaulatan Tuhan dan memandang al-Qur’an sebagai konstitusi Islam, dan karena itu ia berpendapat bahwa negara tidak memerlukan parlemen sebagai badan legislatif yang menyusun UU. Baginya rakyat itu sudah punya UU dasar, yaitu al Qur’an yang didukung oleh Sunnah. Tapi ini bukan berarti parlemen tidak diperlukan. Parlemen diperlukan, tapi untuk menciptakan peraturan-peraturan pelaksanaan atau UU organik guna memberikan tugas kepada eksekutif. Namun pemegang kekuasaan eksekutif harus juga kaum fuqaha.
Pertama, dualisme politik dan agama dalam rekam perebutan kekuasaan di tanah air seolah telah terbantahkan oleh PKS. Asumsi yang menafikan peran agama dalam politik yang memberi simpulan bahwa politik harus berjarak dari agama ternyata sudah tidak lagi relevan lagi. Politisi PKS umumnya selalu bisa menyuguhkan cara berpolitik dengan pendekatan pendekatan agama, tanpa harus megobral simbol-simbol formalisme agama (meski seharunya tak malu mengatakan membela dan menggunakan slogan agama). Walah, terkadang, sikap gerakan politik yang bersikukuh menformalkan simbol agama dan tidak dibarengi dengan perilaku umum gerakan politisi tersebut hanya kadang akan menjadi kuburan dan senjata makan tuan bagi dakwah politik itu sendiri.